Modalku Disewa Perawan Tua I
Modalku Disewa Perawan Tua I
Kisahnya, hanya berselang 4 hari setelah kuterima pembayaran sewa modalku dari Tia, aku kembali membuat jadwal pertemuan bersama Ani, setelah beberapa kali kami saling kontak lewat email seperti halnya ketika kami kontak dengan Tia sebelum peristiwanya berlangsung di penginapan itu. Kali ini sudah yang kelima kalinya kami saling tukar email, bahkan sampai kami saling tukar pengalaman sex dan foto. Kecuali alamat lengkap dan no. telpon kami tetap saling merahasiakan untuk menjaga kemungkinan yang terburuk bagi kami.
Ani nampaknya penuh pengertian dan tidak terlalu banyak menuntut sesuatu. Kebetulan sekali Ani setuju atas jadwal yang kutawarkan yaitu Hari Sabtu Jam 10.00 pagi, namun Ani yang kuserahkan untuk menentukan tempatnya, sebab kebetulan dia lebih tahu suasana di kota yang ingin kami jadikan tempat pertemuan untuk melakukan transaksi sewa modal. Sebut saja di wisma yang letaknya berada di ibu kota propinsiku, sementara aku tinggal di ibu kota kabupaten yang jaraknya ratusan km dari kota tempat tinggal Ani.
Dengan alasan urusan bisnis, akhirnya istriku mengizinkanku berangkat ke ibu kota propinsiku itu. Aku tidak bohong karena urusanku memang urusan bisnis bersama Ani, tapi bisnis gelap, porno dan terlarang. Karenanya aku tidak berani terus terang pada istriku bentuk dan jenis bisnis yang akan kulakukan, sebab jelas ia pasti marah dan tidak akan mengizinkanku kalau ia tahu bahwa aku akan melakukan transaksi sewa modal di kota tersebut, apalagi yang akan kusewakan itu adalah hak miliknya. Melalui mobil panther, aku bisa sampai ke tempat tujuan jauh sebelum jadwal waktu yang kami sepakati, karena memang saya berangkat sebelum jam 7.00 pagi. Karenanya, aku tidak perlu buru-buru, malah aku bisa lebih banyak istirahat sebelum tarnsaksi kami mulai.
Dengan menumpang pada mobil taxi, aku dapat dengan mudah menemukan alamat wisma yang telah disebutkan Ani lewat emailnya. Setelah kubayar dan masuk ke wisma tersebut, saya langsung ke bagian resepsionis untuk menanyakan kalau Ani sudah terdaftar sebagai tamu di wisma itu, sebab kebetulan kami sudah sepakat bahwa jika Ani yang datang duluan, ia akan menunggu di kamar wisma yang telah disewa, tapi jika aku datang lebih dulu, maka aku harus menunggu di ruang tamu sampai Ani datang. Namanya pun sudah disampaikan, yaitu tetap nama emailnya (Ani), sedangkan ciri-cirinya tidak perlu kuketahui sebab fotonya saya sudah lihat yang dikirim lewat email seperti aku juga telah kirimkan foto pribadiku. Setelah kuketahui kalau Ani belum datang sesuai hasil pengecekanku ke resepsionis wisma itu, aku langsung cari tempat duduk yang tersedia di ruang tamu, apalagi wisma itu nampaknya sepi sekali dan kurang sekali pengunjungnya, yaitu hanya satu dua orang saja yang berkeliaran.
Aku dengan sabar dan tenang menunggu saat-saat tibanya Ani di wisma itu sambil kunikmati sebatang rokok dan nonton acara TV yang ada di ruang tamu itu. Jantungku sedikit berdebar karena kami belum pernah ketemu langsung sebelumnya dan belum mengetahui persis bagaimana wajah dan kepribadian Ani yang sebenarnya, tapi tidak separah ketika aku mencari Tia sebagai wanita pertama yang akan menyewa modalku.
“Mudah-mudahan aku tidak salah. Betulkah anda ini yang bernama a..” belum selesai kulamunkan apa yang bakal kulakukan nanti jika ketemu dengan Ani, ternyata tiba-tiba seorang wanita di atas setengah baya (usianya kutaksir di atas 50-an tahun) muncul dengan tawa yang sedikit keras mendekatiku sambil mengacungkan tangannya ke mukaku. Ia tak sempat menyebut namaku secara lengkap sebab aku tersentak kaget sehingga aku spontan berdiri di depannya. Ia nampaknya yakin sekali dan seolah ia telah lama mengenalku, karena tanpa ragu-ragu ia langsung menegur dan mendatangiku. Atau mungkin karena tidak seorangpun lelaki yang duduk menunggu di dalam ruang itu kecuali aku, apalagi fotoku baru saja kukirimkan lewat email.
Tanpa sepata katapun yang mampu kukeluarkan dari mulutku, aku segera menyambutnya dengan sedikit senyum dan maju selangkah agar kami saling berdekatan sambil kutatap tajam muka dan kuamati seluruh tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Hatiku ikut berkomentar apa ini Ani atau bukan? kok tidak ada kemiripan dengan foto yang ia kirimkan padaku. Dalam fotonya itu nampak masih mudah dan sedikit gemuk serta putih, bahkan rambutnya sedikit panjang, namun tiba-tiba ia berucap,
“Anis khan? kok nampaknya tidak gembira atas pertemuan ini. Ada masalah apa Nis? Tidak yakin dan tidak percaya yah jika aku adalah Ani yang mengundangmu ke tempat ini?” tanya wanita itu seolah heran dan bingung melihat sikapku. Tapi aku cepat mengendalikan diri dan berusaha bersikap serius, gembira dan senang atas dirinya.
“Mmma.. maaf bu’, aku kira tadi petugas wisma ini yang muncul tiba-tiba di depanku tanpa kuketahui dari mana ia masuk. Ternyata ibu inilah yang selama ini selalu kurindukan, kuimpikan dan kutunggu-tunggu sejak tadi. Wah bahagia dan puas rasanya aku bisa bertemu dan mewujudkan impian ini menjadi kenyataan. Tapi..” belum aku selesai bicara dan merayunya agar ia senang, iapun tiba-tiba memotong ucapanku,
“Anda pasti tidak percaya kalau aku adalah Ani khan? Apalagi foto yang kukirimkan itu jauh berbeda dengan wajah dan penampilanku saat ini. Kebetulan foto itu adalah fotoku ketika aku masih muda dan masih banyak laki-laki yang mengejar dan merindukanku. Tapi terus terang kini aku sudah usia lanjut, wajah keriput, penampilan berubah dan rambutkupun tidak terurus lagi, karena aku yakin tidak ada laki laki-laki yang mau merayuku, apalagi melamarku,” katanya seolah mengerti dan menebak apa yang ada dalam pikiranku.
“Bagiku tidak jadi soal penampilannya, usianya, yang penting wanita asli yang bisa memanfaatkan modal yang pernah kuiklankan tempo hari, apalagi jika aku mampu memuaskannya, khan dapat sewa yang lumayan, ha.. ha.. ha..” jawabku sambil tertawa untuk membesarkan semangatnya.
Tanpa disadari kalau ada orang lain di ruangan itu, Ani tiba-tiba mengangkat kedua lengannya dan maju lebih dekat lagi ke arahku untuk merangkulku sebagai tanda kegembiraannya, tapi aku sedikit mundur dan menyadarkannya kalau ada orang lain yang memperhatikan kami, sehingga kuraih tangan kirinya lalu menarik dan menuntunnya ke meja resepsionis guna memesan satu kamar. Ia pun ikut dan mengerti maksudku, sehingga ia bergegas bertanya dan memesan satu kamar pada resepsionis, bahkan ia pesan kamar khusus yang sedikit terpisah dari kamar yang berisi lainnya.
Setelah itu, kami menuju kamar tersebut dengan diantar oleh petugas kamar. Setelah kami berada di dalam dan sama-sama memeriksa keamanan kamar serta kamar mandinya, kami lalu duduk di kursi dan saling memperhatikan. Aku berusaha membangkitkan gairah sexku dengan melupakan usia dan penampilannya yang kurang begitu menarik lagi. Aku berusaha menatap dan membayangkan kalau aku bisa main bersama dengan seorang gadis yang gambarnya terpampang di dinding kamar itu agar syahwatku bangkit.
“Sebelum kita memulai hajat kita di kamar ini, mungkin ada baiknya kalau kita bicarakan dulu apa yang menjadi keinginan kita masing-masing agar aku bisa melaksanakan kewajibanku,” kataku terus terang dan serius pada Ani sambil aku berusaha untuk tidak memandang wajahnya lagi.
“Itu soal kedua sayang, yang penting kita bisa saling menikmati dan saling memuaskan. Aku juga tidak mau puas sendiri tanpa anda puas. Tapi sekalipun anda tidak mampu memuaskanku, aku akan tetap berusaha memuaskanmu, bahkan membayar sewa modalmu melebihi dari apa yang kamu minta tempo hari melalui emailmu. Ok..?” sambutnya penuh pengertian.
Hanya dengan sekali mengeluarkan kalimat, aku langsung mendekatinya dan memintanya untuk berdiri buat memudahkan aku menjamah seluruh tubuhnya. Aku mencoba mengalihkan perhatian untuk tidak memikirkan usia dan wajahnya itu lagi dengan sedikit memejamkan mataku.
“Mau tidak ibu membantuku untuk membuka bajunya, biar aku lebih mudah memainkan perananku,” pintaku pada Ani. Aku tetap memanggil ibu pada Ani karena nampaknya ia tidak keberatan kupanggil demikian, sedang ia selalu memanggilku dengan kata kamu atau anda. Tapi tidak ada masalah. Soal panggilan dan peristilahan bahasa, kurasa tidak sampai mempengaruhi keinginan kami. Dalam keadaan tetap berdiri di depan tempat tidur, Ani lalu membuka bajunya dengan mengangkatnya ke atas, sebab kebetulan baju yang dikenakan saat itu adalah baju panjang sejenis daster, namun agak tebal dengan warna sedikit kebiruan bercampur hitam. Karenanya, ia tidak perlu lagi memakai celana panjang, karena bajunya menutup seluruh tubuhnya dari pergelangan kaki hingga ke bahu.
Aku tidak pernah membayangkan kalau tubuh bagian dalam Ani sangat mulus dan putih tanpa bintik hitam dan merah sedikitpun. Nampaknya ia rajin merawat tubuh bagian dalamnya. Aku sempat terperangah sejenak ketika bajunya terlepas dari tubuhnya, bukan hanya karena putih dan mulusnya kulitnya, tapi juga karena ia nampaknya sudah 100% persiapannya dari rumah. Ternyata Ani sama sekali tidak mengenakan BH dan celana dalam dari rumahnya, sehingga ketika ia melepaskan baju yang dipakainya itu, kontan saja jantungku berdebar melihat pemandangan yang indah sekali di depan hidungku. Apa yang kulihat, tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Payudaranya begitu indah tertancap di dadanya. Ukurannya sederhana sekali seolah payudara itu milik seorang gadis yang masih kurang tersentuh oleh tangan-tangan laki-laki. Nampak dari warna putingnya yang mungil itu agak kecoklatan nan mengkilap serta terlihat masih sedikit montok dan keras.
“Dddiikk.. Oh.. Bbbuu, ke..”panggilku gugup tanpa konsentrasi lagi.
“Ahh.. Sudahlah. Jangan berpikir macam-macam,” katanya memotong ucapanku, karena aku sempat kebingungan dan tidak tahu apa yang akan kukatakan.
“Saat ini, kuserahkan seluruh tubuhku padamu. Terserah mau diapakan dan mau perlakukan apa saja diriku, aku pasrah demi kepuasan kita sayang,” lanjutnya sambil mendekapku dan menempelkan tubuh telanjangnya ke tubuhku sehinga terasa hangat sekali. Apalagi ketika Ani mengecup pipi dan bibirku yang dilanjutkan dengan isapan pada leherku, aku sedikit bergelinjang karena terangsang.
“Yuk.. Kita ke tempat tidur saja, biar lebih leluasa kita main-main,” bisikku ke telinganya sambil mengangkatnya ke atas kasur yang empuk.
Setelah kubaringkan di atas tempat tidur, aku segera mundur sedikit lalu membuka sendiri seluruh pakaianku kecuali celana dalamku. Secara perlahan tapi pasti, aku mulai mengangkanginya, menindihnya, lalu menjulurkan lidahku ke mulutnya. Anipun mengerti keinginanku, sehingga aku mudah memasukkan lidahku ke rongga mulutnya karena ia sedikit membuka mulutnya. Aku gerakkan kiri kanan dan memutar lidahku ke dalam mulutnya dan Anipun menyambutnya dengan lahap sekali, sehingga lidah kami saling beradu di dalam, bahkan kami saling gantian mengisap. Ani nampaknya sudah mulai terangsang, namun aku biarkan saja menikmati seluruh gerakan lidah, tangan dan pinggulku yang tidak mau tinggal diam.
“Buka celanamu sayang. Aku tak sabar lagi ingin menikmati sentuhan modalmu itu. Ayo.. Buka cepat,” bisiknya di telingaku sambil memegang pinggir celanaku.
“Tunggu sebentar sayang. Waktu kita masih panjang, biar kamu penasaran dulu. Aku mau menikmati dulu seluruh tubuhmu yang telanjang ini,”jawabku berbisik sambil meneruskan aksiku.
Kali ini aku jilati lehernya berkali-kali sehingga ia semakin menggelinjang seolah tidak mampu lagi menahan gelora syahwatnya. Setelah puas, aku sapu ke bawah dengan lidah hingga ke bukit kembar yang menantangku dan menyentuh dadaku sejak tadi. Aku julurkan lidahku sehingga menyentuh ujung putingnya yang bulat berwarna coklat muda. Terasa agak manis dan harum serta hangat. Kuputar ujung lidahku berkali-kali ke kedua putingnya itu secara bergantian. Ani hanya bisa melenguh dan uuhh.. mmhh.. hh.. aaiihh, suara nafasnya terus kedengaran, sampai-sampai terasa hangatnya di pipiku.
“Bagaimana sayang, enak, nikmat dijilatin ininya? Apa pernah dirasakan kenikmatan seperti ini dari suamimu?” tanyaku berbisik sambil menempelkan pipiku ke pipinya.
Ani hanya mengangguk sambil memejamkan mata, lalu aku kembali menyerang kedua payudaranya, baik dengan cara meremas-remasnya maupun dengan memasukkan ke mulutku, namun rongga mulutku tetap tidak mampu menampung semuanya. Ketika aku memutar-mutar lidahku seiring dengan berputarnya pinggulku di atas selangkangannya yang terbuka lebar tanpa penutup, sedikit mulai basah dan tanpa selembar bulupun yang tumbuh di atasnya, Ani semakin histeris ingin berteriak meminta agar aku secepatnya menyingkirkan kain yang menghalangi antara kemaluanku dengan kemaluannya, namun ia hanya melenguh keras dan mencoba meraba pinggir celanaku tapi tangannya kurang berhasil menurunkannya. Akhirnya ia mencoba mengangkat sedikit lutut kanannya lalu menjepitkan ujung kakinya ke pinggir atas celanaku, lalu didorongnya ke bawah hingga turun sedikit sampai pahaku. Aku kasihan melihat ia tersiksa.
“Tenang sayang. Aku akan membukanya sekarang, biar kamu menikmatinya,” kataku sambil membuka celana dalamku dengan tangan kiri tanpa kurobah posisi. Pinggulnya semakin bergerak kiri kanan atas bawah setelah ujung penisku yang berdiri keras sejak tadi menumbuk tepi vaginanya yang sedikit basah, apalagi tanpa dihalangi oleh selembar bulupun.
“Ayo.. cepat sayang. Aku sudah tidak mampu menahan lagi,” bisiknya.
“Apanya yang dipercepat sayang? Gerakan mulutku atau pinggulku?” tanyaku seolah tidak mengerti, padahal kutahu jika ia tidak sabar lagi menunggu sentuhan modalku ke kelentitnya yang mungil nan mengkilap itu.
“Uuhh.. Aaahh.. Ssstt.. Eeehh,” begitulah suara nafasnya yang keluar dari mulutnya secara berulang-ulang ketika aku mencoba mengarahkan ujung modalku ke pintu kenikmatannya. Apalagi ketika aku menyentuhkan ujungnya ke kelentitnya lalu menahan sejenak, ia semakin menggelinjang seolah mencari benda yang menyentuhnya tadi agar dapat bersentuhan seterusnya tanpa putus.
Bersambung . . . .,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,